Secara garis besar, aktivitas bank syariah ada dua macam. Pertama: aktivitas perdagangan (a’mal tijariyah) sebagai pengganti aktivitas ribawi. Ini dijalankan melalui berbagai macam akadnya, seperti mudharabah,murabahah dan musyarakah dalam sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, dan sebagainya. Kedua: aktivitas jasa perbankan (khidmat mashrifiyah) dalam berbagai bentuknya dengan menarik imbalan jasa, misalnya jasa transfer (tahwil) dan penukaran mata uang (sharf, currency exchange).
Adapun aktivitas kedua hukumnya jaiz (boleh) secara syar’i selama dilaksanakan sesuai syarat dan rukunnya. Untuk itu dalam makalah ini penulis akan membahas sebagian dari praktek akad-akad yang termasuk pada aktivitas perdagangan.
1. Praktek Pembiayaan Mudharabah
Secara singkat mudharabah merupakan salah satu syirkah penyerahan modal uang kepada orang (pengelola) untuk menjalankan usaha sehingga ia mendapatkan persentase keuntungan. Pengelola tidak ikut menyertakan modal, tetapi menyertakan tenaga dan keahliannya dan tidak mendapatkan gaji atau upah dalam menjalankan usahanya. Pemilik dana hanya menyediakan modal dan tidak ikut campur dalam pengelolaan usaha tersebut. Pemilik dana akan mendapatkan bagian dari hasil usaha tersebut dan juga bersedia menanggung kerugian apabila usaha tersebut mengalami kerugian.
Dalam prakteknya di bank syariah di Indonesia, pengelola usaha (mudharib) merupakan nasabah. Di sini mudharib juga diharuskan adanya jaminan kepada bank syariah. Sistem bagi hasil menggunakan sistemrevenue sharing, dimana biaya (seperti biaya tenaga kerja, administrasi, penyusutan, dan biaya operasional lainnya) tidak dibebankan bersama, melainkan dibebankan hanya pada pengelola (mudharib). Keuntungan pengelola diperoleh dari pendapatan (laba kotor) dikurangi biaya kemudian dikali persentase bagi hasil. Sedangkan keuntungan pemodal diperoleh dari pendapatan (laba kotor) dikali persentase bagi hasil.
Praktek tersebut menyalahi syariah, dimana Yang dijadikan patokan seharusnya adalah prinsip profit and lost sharing (bagi-hasil keuntungan dan kerugian), bukan revenue sharing (bagi-hasil pendapatan). Keuntungan dan kerugian itu mengikuti kontribusi syarîk (mitra). Kontribusi para mitra itu bisa berupa harta/modal, bisa berupa aktivitas (tasharruf) (tenaga, pikiran dan waktu) menjalankan aktivitas bisnis syirkah itu. Prinsip dalam sharing keuntungan dan kerugian itu adalah seperti ungkapan oleh Ali bin Abi Thalib ra. yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq di Mushannaf-nya: “Kerugian itu berdasarkan harta (modal), sedangkan keuntungan berdasarkan kesepakatan mereka (para mitra)”.
2. Praktek Pembiayaan Musyarakah
Istilah musyarakah dalam ekonomi syariah sebenarnya merujuk pada syirkah ‘Inan, dimana ada dua orang / badan masing-masing mempunyai modal kemudian mengelola bersama suatu usaha.
Pada praktek bank syariah di Indonesia, sebagian besar hanya pihak bank yang memberikan kontribusi dana, adapun sistem bagi hasilnya menggunakan sistem revenue sharing[5]. Praktek tersebut jelas tidak sesuai dengan prinsip syariah seperti halnya yang sudah dijelaskan pada poin 1 di atas. Dengan praktek revenue sharing, karenanya kita tidak pernah mendengar bank syariah mengalami kerugian. Meski usaha merugi, bank tidak akan merugi. Minimal, bagi hasil mendapatkan 0 tetapi modalnya tetap utuh.
3. Praktek Pembiayaan Murabahah
Murabahah merupakan bentuk pembiayaan dimana bank syariah membeli barang secara tunai berdasarkan permintaan nasabah, kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut secara tidak tunai dengan harga pokok barang ditambah persentase laba yang disepakati kedua pihak, contohnya:
Seseorang ingin membeli sebuah mobil seharga Rp. 100 juta, lalu ia meminta pihak bank untuk membelinya atas nama bank dan dia berjanji, jika bank telah membeli mobil tersebut dia akan membelinya dari bank dengan cara tidak tunai seharga Rp. 100 juta ditambah laba untuk bank sebanyak 10% dari harga, total harga menjadi Rp. 110 juta yang dibayar dalam bentuk angsuran selama 2 tahun.
4. Praktek Pembiayaan Ijarah
Ijarah muncul akibat adanya kebutuhan barang oleh nasabah yang tidak memiliki kemampuan keuangan. Secara teknis praktek ijarah merupakan perubahan cara pembayaran sewa dari tunai di muka menjadi angsuran dan/atau pengunduran periode waktu pembayaran.
Nasabah mengajukan permintaan untuk menyewa barang kepada bank. Bank kemudian mencari barang yang diinginkan nasabah untuk disewa, kemudian bank membayar sewa tersebut di muka secara penuh kepada pemilik barang. Selanjutnya bank mengadakan akad sewa terhadap nasabah dengan ketentuan angsuran hingga jatuh tempo.
Namun, ada praktek di beberapa bank syariah yang perlu dicermati, yakni penyediaan dana untuk menyewa barang disetorkan langsung ke rekening nasabah, yang selanjutnya atas nama bank syariah (wakalah), nasabah melakukan penyewaan barang dari pemilik barang.
No comments:
Post a Comment