Friday, December 7, 2012

Definisi Rahn


Dalam kitab Undang-Undang hukum perdata, pasal 1150 menyebutkan bahwa gadai (rahn) adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atau suatu barang bergerak. Dimana barang tersebut bergeraknya kepada pihak yang berpiutang oleh orang yang mempunyai hutang.
Menurut bahasa Indonesia rahn adalah gadai dan dalam bahasa Arab dapat disebut al-Habsu. Secara etimologi rahn adalah tetap dan lama, sedang al-habsu adalah penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. Menurut Muhamad Syafii Antonio rahn adalah menahan salah satu harta milik peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, barang yang ditahan tersebut bernilai ekonomir.
Adapun pengertian rahn menurut ulama fiqih adalah sebagai berikut :
  1. Ulama madzhab Syafi’I mendefinisikan rahn adalah : menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, apabila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
  2. Ulama madzhab Hambali mendefinisikan rahn adalah : suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
  3. Ulama madzhab Maliki mendefinisikan rahn adalah : Sesuatu yang bernilai harta yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
Sedangkan tujuan akad rah (gadai) adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada orang yang menggadaikan dalam pemberian utang. Dengan demikian, akad rahn (gadai) dapat disimpulkan bahwa rahn adalah menahan suatu barang yang bernilai milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterima, sehingga pihak yang meminjamkan utang (murtahin) memperoleh jaminan untuk mendapatkaan kembali utang yang diberikannya. Jadi akad rahn berfungsi memberikan ketenangan/kepercayaan kepada pemberi utang akan kembalinya utang yang dipinjamkan. Pada prinsipnya rahn merupakan salah satu akad tabarru’ yang tidak ada unsur komersial.
Dari pengertian diatas dapat penulis simpulkan bahwa pengertian rahn adalah menahan harta salah satu milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya atau jaminan utang.

Aplikasi Mudharabah



Mudharabah di dunia bank syariah merupakan karakteristik umum & landasan dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan. Aplikasi mudharabah pada bank syariah cukup kompleks, namun secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua:
1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dgn bank
2. Akad mudharabah antara bank dgn nasabah peminjam.

1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dgn bank.
Aplikasinya dlm perbankan syariah adalah:
a. tabungan berjangka yaitu tabungan yang dimaksudkan utk tujuan khusus seperti tabungan qurban, tabungan pendidikan anak, & sebagainya.
Sistem atau teknisnya adalah nasabah penabung memiliki ketentuan-ketentuan umum yang ada pada bank seperti syarat-syarat pembukaan, penutupan rekening, mengisi formulir, menyertakan fotokopi KTP, specimen tanda tangan, & lain sebagainya.
Lalu menyebutkan tujuan dia menabung, misal utk pendidikan anaknya, lalu disepakati nominal yang disetor setiap bulannya & tempo pencairan dana.
Pada praktiknya, dana akan cair pada saat jatuh tempo plus bagi hasil dari usaha mudharabah. Secara kenyataan di lapangan, pihak bank bisa langsung memberikan hasil mudharabah secara kredit tiap akhir bulan.
b. Deposito biasa
Ketentuan teknisnya sama seperti ketentuan umum yang berlaku di semua bank. Pada produk ini, pihak penabung bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) & pihak bank sebagai mudharib (amil). Pada praktiknya harus ada kesepakatan tenggang waktu antara penyetoran & penarikan agar modal (dana) dapat diputarkan. Sehingga ada istilah deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, & 12 bulan.
Juga dibicarakan nisbah (persentase) bagi hasilnya & biasanya dana akan cair saat jatuh tempo.
Secara kenyataan, semua akad pada tabungan berjangka & deposito tertuang pada formulir yang disediakan pihak bank di setiap Customer Service (CS)nya.
c. Deposito khusus (special investment)
Di mana dana yang dititipkan nasabah khusus utk bisnis tertentu. Keumuman bank syariah tak menerapkan produk ini.

Pengertian ekonomi Islam


System ekonomi Islam adalah system ekonomi yang mandiri, oleh karenanya Islam mendorong kehidupan sebagai kesatuan yang utuh dan menolong kehidupan seseorang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, yang individu-individunya saling  membutuhkan dan saling melengkapi dalam sekema tata sosial, karena manusia adalah entitas individu sekaligus kolektif.Ekonomi Islam adalah cara hidup yang serba cukup, Islam sendiri menyediakan segala aspek eksistensi manusia yang mengupayakan subuah tatanan yang didasarkan pada seperangkat konsep Hablum  min-Allah wa hablum min-Annas, yang berkaitan tentang tuhan, manusia dan hubungan keduanya (tauhidi). Matra ekonomi Islam menempati kedudukan yang istimewa.  Karena Islam yakin bahwa stabilitas universal tergantug pada kesejahteraan material dan sepiritual manusia. Kedua aspek ini terpadu dalam satu bentuk tindakan dan kebutuhan manusia.Aktivitas antar manusia termasuk  aktivitas ekonomi terjadi melalui apa yang di istilahkan oleh ulama’ dengan  mu’amalah (intrataksi) pesan al-quran dalam aktivitas ekonomi 

“ Dan  janganlah  kamu  sekalian  makan  atau   melakukan   interaksi  ekonomi di antara kamu  dengan jalan
    yang bathil ”
              (Q: S. Al Baqoroh   : 188)

Islam bukan sekedar menawarkan pedoman-pedoman moral teoritis guna membangun system ekonomi, tapi juga mengemukakan suatu metodologi yang layak untuk menerapkan pedoman-pedoman dengan ke absahan cara dan juga legitimasi tujuan dengan landasan atas pertimbangan etika yang jelas dan dapat bemakna di dalam keseluruan kerangka tata sosial, dengan pendekatan terhadap system ekonomi ini sangat relevan dan amat mendesak untuk di alamatkan pada syari’ah dengan system ekonomi islam

Konsep ekonomi Islam



Setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya, di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya, di lain pihak. Proses yang diikuti dengan seperangkat aksioma dan prinsip yang dimaksudkan untuk lebih mendekatkan tujuan sistem tersebut merupakan landasan sistem tersebut yang bisa diuji. Setiap sistem ekonomi membuat kerangka di mana suatu komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusiawi untuk kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi ini untuk kepentingan konsumsi.
Validitas sistem ekonomi dapat diuji dengan konsistensi internalnya, kesesuaiannya dengan berbagai sistem yang mengatur aspek-aspek kehidupan lainnya, dan kemungkinannya untuk berkembang dan tumbuh. Karena itu suatu sistem ekonomi tidak dapat diharapkan untuk menyiapkan, misalnya, komposisi khusus barang-barang ekspor di negara tertentu, fungsi produksi yang praktis bermanfaat atau secara matematik dapat dikelola, atau rumusan mengenai bagaimana memperbesar fungsi-fungsi tuntutan individual dalam tuntutan yang berskala nasional. Komponen-komponen teori ekonomi seperti itu tidak dapat diawali dengan sistem tersebut karena komponen-komponen itu timbul dalam aplikasi praktis sistem tersebut dalam tatanan berbagai kondisi yang ada. Dengan melihat kondisi-kondisi ini dan dalam kerangka sistem ekonomi yang berlakulah unsur-unsur teori ekonomi seperti bisa dikembangkan, diuji dan diteorisasikan.

Sebagai konsekuensinya suatu sistem untuk mendukung ekonomi Islam seharusnya diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan. Berbagai aksioma dan prinsip dalam sistem seperti itu seharusnya ditentukan secara pasti dan proses fungsionalisasinya seharusnya dijelaskan agar dapat menunjukkan kemurnian dan aplikabilitasnya. Namun demikian, perbedaan yang nyata, seharusnya ditarik antara sistem ekonomi Islam dan setiap tatanan yang bersumber padanya. Dalam literatur Islam mengenai ekonomi, sedikit perhatian sudah diberikan kepada masalah ini. Sebagai akibatnya, beberapa buku yang dikatakan membahas "sistem ekonomi Islam" sebenarnya hanya berbicara tentang latar belakang hukumnya saja, atau kadang-kadang disertai dengan beberapa prinsip ekonomi dalam Islam. 


Perbankan Syariah


Perbankan syariah atau perbankan Islam (Arab: المصرفية الإسلامية al-Mashrafiyah al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Meskipun prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersial swasta atau semi-swasta dalam komunitasmuslim di dunia.
Prinsip perbankan syariah
Perbankan syariah memiliki tujuan yang sama seperti perbankan konvensional, yaitu agar lembaga perbankan dapat menghasilkan keuntungan dengan cara meminjamkan modal, menyimpan dana, membiayai kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai. Prinsip hukum Islam melarang unsur-unsur di bawah ini dalam transaksi-transaksi perbankan tersebut:
  1. Perniagaan atas barang-barang yang haram,
  2. Bunga (ربا riba),
  3. Perjudian dan spekulasi yang disengaja (ميسر maisir), serta
  4. Ketidakjelasan dan manipulatif (غرر gharar).
Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional adalah sebagai berikut:
Bank Islam
  • Melakukan hanya investasi yang halal menurut hukum Islam
  • Memakai prinsip bagi hasil, jual-beli, dan sewa
  • Berorientasi keuntungan dan falah (kebahagiaan dunia dan akhirat sesuai ajaran Islam)
  • Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan
  • Penghimpunan dan penyaluran dana sesuai fatwa Dewan Pengawas Syariah
Bank Konvensional
  • Melakukan investasi baik yang halal atau haram menurut hukum Islam
  • Memakai perangkat suku bunga
  • Berorientasi keuntungan
  • Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kreditur-debitur
  • Penghimpunan dan penyaluran dana tidak diatur oleh dewan sejenis
Afzalur Rahman dalam bukunya Islamic Doctrine on Banking and Insurance (1980) berpendapat bahwa prinsip perbankan syariah bertujuan membawa kemaslahatan bagi nasabah, karena menjanjikan keadilan yang sesuai dengan syariah dalam sistem ekonominya.

Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia


Sejarah Awal Perbankan Syariah
Pada tahun1950-an, perbankan syariah bagaikan hanya sebuah mimpi bagi para akademisi. Bahkan hanya sebagian kecil orang saja yang sudah peduli. Berawal dari sekadar diskusi hingga Feds ikut tertarik, berdirilah bank syariah pertama di dunia pada tahun 1963-1967, yang terletak di Mesir.
Bank syariah pertama yang berdiri pertama di Indonesia adalah Bank Muamalat pada tahun 1992. Setelah terbukti mampu bertahan pada masa krisis 1998, barulah pemerintah mengeluarkan UU No.10 Tahun 1998 yang memperbolehkan bank melakukan transaksi syariah (dual banking system). Sejak itulah banyak bermunculan bank-bank syariah di Indonesia.
Realita Perkembangan Syariah di Indonesia
Hingga saat ini, perbankan syariah di Indonesia hanya menguasai sekitar 3% pangsa pasar, tertinggal dari asuransi syariah yang justru baru berkembang akhir-akhir ini (sekitar 4%). Padahal, sosialisasi perbankan syariah sudah berjalan lebih dari 19 tahun (Majalah Investor, Agustus 2011). Jika kita ingin membandingkan dengan pasar modal syariah, efek yang beredar di pasar modal justru sudah mencapai hampir 50%. Padahal pasar modal syariah muncul belakangan.
Pertumbuhan perbankan pun mengalami kenaikan yang cukup menggembirakan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 hanya ada 3 Bank Umum Syariah (BUS), 19 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 92 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), sedangkan hingga September 2011 sudah terdapat 11 BUS, 23 UUS, dan 154 BPRS. Hal ini dimungkinkan dengan adanya UU No. 2 Tahun 2008 tentang batas waktu tahun 2023 bagi UUS  untuk menjadi BUS.
Dari sisi pekerja, ada peningkatan dari tahun ke tahun, namun peningkatannya tidak terlalu signifikan. Terbukti dengan adanya bajak-membajak sumber daya manusia (SDM) di perbankan syariah. Setiap tahun setidaknya dibutuhkan sekitar 14000 SDM syariah (Majalah Investor, Agustus 2011). Maka dari itu, peluang mendapatkan kerja di bidang syariah masih sangat terbuka lebar.
BUS, UUS, dan BPRS umumnya mengalokasikan pembiayaan dengan mengutamakan usaha kecil dan menengah. Hal ini sesuai dengan himbauan Alquran QS Adz-Dzariyat:19 dan QS Al-Ma’un:2-3. Selain itu, memberdayakan orang yang lebih membutuhkan akan membuat masyarakat semakin mandiri berusaha, tidak hanya mengandalkan bantuan-bantuan sumbangan dan semacamnya.
Tantangan Perbankan Syariah di Indonesia
  • Kesesuaian dengan syariah sepenuhnya.
  • Pemenuhan kebutuhan SDM syariah
  • Inovasi produk perbankan syariah





PRODUK DAN JASA BANK SYARIAH



Produk-produk bank syariah muncul karena didasari oleh operasionalisasi fungsi bank syariah. Dalam menjalankan operasinya, bank syariah memiliki empat fungsi sebagai berikut:
a.  Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi dana-dana yang dipercayakan oleh pemegang rekening investasi/deposan atas dasar prinsip bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank,
b.   Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki pemilik dana/shahibul maal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana,
c.  Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, dan
d.     Sebagai pengelola fungsi sosial.
Produk-produk pendanaan bank syariah ditujukan untuk mobilisasi dan investasi tabungan untuk pembangunan perekonomian dengan cara yang adil sehingga keuntungan yang adil dapat dijamin bagi semua pihak. Tujuan mobilisasi dana merupakan hal penting karena Islam secara tegas mengutuk penimbunan tabungan dan menuntut penggunaan sumber dana secara produktif dalam rangka mencapai tujuan sosial ekonomi Islam.Dalam hal ini, bank syariah melakukannya tanpa menerapkan sistem bunga (riba), melainkan dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan syariat Islam, terutamawadiah (titipan), qardh (pinjaman), mudharabah (bagi hasil), danijarah.

1.      Produk Penghimpunan Dana
a. Prinsip Wadiah
Prinsip wadiah yang diterapkan adalah wadiah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadiah yad dhamanah berbeda dengan wadiah yad amanah. Dalamwadiah yad amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dititipi. Sementara itu, dalam halwadiah yad dhamanah, pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.
Produk pendanaan pada bank syariah yang menerapkan prinsip wadiah diantaranya adalah giro wadiah yang merupakan simpanan dari nasabah dalam bentuk rekening giro (current account) untuk keamanan dan kemudahan pemakaiannya.[4] Girowadiah ini didukung dengan adanya fatwa DSN MUI NO: 01/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Giro. Beberapa fasilitas giro wadiah yang disediakan bank syariah untuk nasabah, antara lain: buku cek, bilyet giro, kartu ATM, fasilitas pembayaran, traveller’s cheques, wesel bank, wesel penukaran, kliring, dan lain-lain.
b.  Prinsip Qardh
Qardh adalah memberikan (meminjamkan) uang kepada orang lain tanpa mengharapakn imbalan, untuk dikembalikan dengan pengganti yang sama dan dapat ditagih atau  diminta kembali kapan saja oleh pihak yang menghutangi. Simpanan giro dan tabungan juga dapat menggunakan prinsip qardh, ketika bank dianggap sebagai penerima pinjaman tanpa bunga dari nasabah deposan sebagai pemilik modal. Bank dapat memanfaatkan dana pinjaman dari nasabah deposan untuk apa saja, termasuk untuk kegiatan produktif mencari keuntungan. Bonus tabungan qardh lebih besar daripada bonus giro qardh, karena bank lebih leluasa dalam menggunakan dana untuk tujuan produktif.
Prinsip qardh didukung dengan adanya fatwa DSN MUI NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Qardh.
c. Prinsip Mudharabah
Mudharabah merupakan akad antara pemilik modal (shahibul maal) dalam hal ini pihak bank yang menyerahkan dana kepada pengelola modal (mudharib) dalam hal ini pihak nasabah, dengan syarat bahwa keuntungan yang diperoleh dibagi dua belah pihak sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat.
d. Prinsip Ijarah
Akad ijarah dapat dimanfaatkan oleh bank syariah untuk penghimpunan dana dengan menerbitkan sukuk, yang merupakan obligasi syariah. Dengan sukuk ini, bank mendapatkan alternatif sumber dana berjangka panjang (lima tahun atau lebih) sehingga dapat digunakan untuk pembiayaan-pembiayaan berjangka panjang. Sukuk ini dapat menggunakan beberapa prinsip yang dibolehkan syariah, seperti menggunakan prinsip bagi hasil (sukuk mudharabah dan sukuk musyarakah), menggunakan prinsip jual beli (sukuk murabahah, salam, istishna), menggunakan prinsip sewa (sukuk ijarah), dan lain sebagainya.
2. Produk Pembiayaan/ Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dananya pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam empat kategori, yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu:
a.       Pembiayaan dengan prinsip jual beli
b.      Pembiayaan dengan prinsip sewa
c.       Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil


Akad-akad di Bank Syariah



Secara garis besar, aktivitas bank syariah ada dua macam. Pertama: aktivitas perdagangan (a’mal tijariyah) sebagai pengganti aktivitas ribawi. Ini dijalankan melalui berbagai macam akadnya, seperti mudharabah,murabahah dan musyarakah dalam sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, dan sebagainya. Kedua: aktivitas jasa perbankan (khidmat mashrifiyah) dalam berbagai bentuknya dengan menarik imbalan jasa, misalnya jasa transfer (tahwil) dan penukaran mata uang (sharf, currency exchange).

Adapun aktivitas kedua hukumnya jaiz (boleh) secara syar’i selama dilaksanakan sesuai syarat dan rukunnya. Untuk itu dalam makalah ini penulis akan membahas sebagian dari praktek akad-akad yang termasuk pada aktivitas perdagangan.
1. Praktek Pembiayaan Mudharabah
Secara singkat mudharabah merupakan salah satu  syirkah penyerahan modal uang kepada orang (pengelola) untuk menjalankan usaha sehingga ia mendapatkan persentase keuntungan. Pengelola tidak ikut menyertakan modal, tetapi menyertakan tenaga dan keahliannya dan tidak mendapatkan gaji atau upah dalam menjalankan usahanya. Pemilik dana hanya menyediakan modal dan tidak ikut campur dalam pengelolaan usaha tersebut. Pemilik dana akan mendapatkan bagian dari hasil usaha tersebut dan juga bersedia menanggung kerugian apabila usaha tersebut mengalami kerugian.
Dalam prakteknya di bank syariah di Indonesia, pengelola usaha (mudharib) merupakan nasabah. Di sini mudharib juga diharuskan adanya jaminan kepada bank syariah. Sistem bagi hasil menggunakan sistemrevenue sharing, dimana  biaya  (seperti biaya tenaga kerja, administrasi, penyusutan, dan biaya operasional lainnya) tidak dibebankan bersama, melainkan dibebankan hanya pada pengelola (mudharib). Keuntungan pengelola diperoleh dari pendapatan (laba kotor) dikurangi biaya kemudian dikali persentase bagi hasil. Sedangkan keuntungan pemodal diperoleh dari pendapatan (laba kotor) dikali persentase bagi hasil.
Praktek tersebut menyalahi syariah, dimana Yang dijadikan patokan seharusnya adalah prinsip profit and lost sharing (bagi-hasil keuntungan dan kerugian), bukan revenue sharing (bagi-hasil pendapatan). Keuntungan dan kerugian itu mengikuti kontribusi syarîk (mitra). Kontribusi para mitra itu bisa berupa harta/modal, bisa berupa aktivitas (tasharruf) (tenaga, pikiran dan waktu) menjalankan aktivitas bisnis syirkah itu. Prinsip dalam sharing keuntungan dan kerugian itu adalah seperti ungkapan oleh Ali bin Abi Thalib ra. yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq di Mushannaf-nya: “Kerugian itu berdasarkan harta (modal), sedangkan keuntungan berdasarkan kesepakatan mereka (para mitra)”.
2. Praktek Pembiayaan Musyarakah
Istilah musyarakah dalam ekonomi syariah sebenarnya merujuk pada syirkah ‘Inan, dimana ada dua orang / badan masing-masing mempunyai modal kemudian mengelola bersama suatu usaha.
Pada praktek bank syariah di Indonesia, sebagian besar hanya pihak bank yang memberikan kontribusi dana, adapun sistem bagi hasilnya menggunakan sistem revenue sharing[5]. Praktek tersebut jelas tidak sesuai dengan prinsip syariah seperti halnya yang sudah dijelaskan pada poin 1 di atas. Dengan praktek revenue sharing, karenanya kita tidak pernah mendengar bank syariah mengalami kerugian. Meski usaha merugi, bank tidak akan merugi. Minimal, bagi hasil mendapatkan 0 tetapi modalnya tetap utuh.
3. Praktek Pembiayaan Murabahah
Murabahah merupakan bentuk pembiayaan dimana bank syariah membeli barang secara tunai berdasarkan permintaan nasabah, kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut secara tidak tunai dengan harga pokok barang ditambah persentase laba yang disepakati kedua pihak, contohnya:
Seseorang ingin membeli sebuah mobil seharga Rp. 100 juta, lalu ia meminta pihak bank untuk membelinya atas nama bank dan dia berjanji, jika bank telah membeli mobil tersebut dia akan membelinya dari bank dengan cara tidak tunai seharga Rp. 100 juta ditambah laba untuk bank sebanyak 10% dari harga, total harga menjadi Rp. 110 juta yang dibayar dalam bentuk angsuran selama 2 tahun.
4. Praktek Pembiayaan Ijarah 
Ijarah muncul akibat adanya kebutuhan barang oleh nasabah yang tidak memiliki kemampuan keuangan. Secara teknis praktek ijarah merupakan perubahan cara pembayaran sewa dari tunai di muka menjadi angsuran dan/atau pengunduran periode waktu pembayaran.
Nasabah mengajukan permintaan untuk menyewa barang kepada bank. Bank kemudian mencari barang yang diinginkan nasabah untuk disewa, kemudian bank membayar sewa tersebut di muka secara penuh kepada pemilik barang. Selanjutnya bank mengadakan akad sewa terhadap nasabah dengan ketentuan angsuran hingga jatuh tempo.
Namun, ada praktek di beberapa bank syariah yang perlu dicermati, yakni penyediaan dana untuk menyewa barang disetorkan langsung ke rekening nasabah, yang selanjutnya atas nama bank syariah (wakalah), nasabah melakukan penyewaan barang dari pemilik barang.